Beberapa hari yang lalu, saya nanya ke Momon, "apakah aku terlalu banyak nonton film?"
Saya memang lagi keranjingan banget nonton film. Aslinya ya memang suka sih, cuma selama ini menahan diri. Terus (( nggak sengaja )) hobi lama ini dimulai lagi gara-gara Game of Thrones season 8. Jadi pas GOT S08 ini rilis, saya memutuskan untuk mbaleni nonton GOT dari season 01 sampai 07, biar lebih merasuk sukma gitu. Secara saya sebenernya agak nggak rela GOT tamat.
Nah, gara-gara maraton nonton itu, saya jadi kecentok hobi lama, yaitu keranjingan nonton film. Sekarang jam tidur saya berkurang sekitar 2-3 jam setiap harinya, karena sebelum tidur saya selalu meluangkan nonton satu film.
Daripada hobi baru ini mubazir, dan cuma berakhir dengan review tidak serius di IG story, mendingan saya jadiin konten di blog saja. Toh sebenernya saya ini punya rubik film kok, bisa di baca lho review film saya yang sebelumnya.
Baca juga: Review Buku dan Film Lainnya
Kemarin, saya nonton film Parasite sama Momon.
Percaya nggak? Ini film Asia pertama (selain Indonesia) yang saya tonton di bioskop. Saya nggak pernah bisa sreg sama film-film asia selain Indonesia. Antara nggak masuk guyonannya, terlalu slapstick, kadang sok aethestic tapi malah bikin bosen, atau seringkali malah terlalu cheezy. Mon maap nih buat penggemar film Korea, Jepang, China, Thailand. Ini soal selera aja. Tapi Parasite ini memang bikin penasaran banget, karena banyak yang merekomendasikan. Bahkan Joko Anwar bilang ini film wajib ditonton!
Oke, boss! Tak tontone! Mumpung sugih!
Film Tentang Kesenjangan Sosial
Alkisah Ki-Woo adalah anak dari keluarga miskin, mendapat kesempatan untuk jadi guru les privat bahasa Inggris untuk anak keluarga Park yang kaya raya. Ki-Woo menyamar menjadi mahasiswa bernama Kevin. Segera setelah masuk rumah tersebut, Kevin menyadari bahwa si nyonya rumah alias Mrs. Park ini agak bego, gampang ditipu. Jadi Kevin pun menyusun rencana dan tipu muslihat, agar semua keluarganya bisa masuk dan bekerja di rumah tersebut.
Pertama adiknya, Ki-Jung, menyamar menjadi Jessica, guru les menggambar dan ahli psikologi seni untuk anak keluarga Park yang paling kecil. Lalu mereka menyusun rencana jahat, agar sopir dan pengurus rumah tangga di situ dipecat, biar bapak dan ibuknya juga bisa masuk ke rumah dan bekerja di sana.
Rencana berhasil. Ki-Taek sekeluarga berhasil masuk ke rumah keluarga Park yang mewah. Mereka bekerja di sana dan berpura-pura tidak saling mengenal satu sama lain.
Keseluruhan cerita di film ini menggambarkan soal kesenjangan sosial. Sendari awal kita udah langsung disuguhi perbedaan kehidupan keluarga Ki-Taek yang sangat miskin, dengan kehidupan glamour super kaya keluarga Park. Kesenjangan ini juga disimbolkan dengan arah anak tangga. Kalau mau masuk rumah keluarga Park, tokoh harus naik ke atas. Sementara kalau pulang ke rumah keluarga Ki-Taek, arahnya turun ke bawah.
Mengapa judulnya Parasite?
Yang akan lebih bikin perasaan penonton diaduk-aduk, karakter dalam keluarga Ki-Taek ini pintar-pintar. Bahkan bisa dibilang sih, keluarga Park bego-bego ya, bisa-bisanya ditipu mentah-mentah sama keluarga Ki-Taek. Padahal keluarga Ki-Taek jelas diperlihatkan sebagai keluarga yang amat sangat miskin, dan keluarga Park adalah keluarga kaya. Jadi orang miskin bukan selamanya karena mereka bodoh, dan orang kaya nggak selamanya pintar. Kadang di dunia ini, ada situasi kejam yang namanya privilege. Orang bisa kaya walau bego, karena ya punya privilege terlahir dari keluarga kaya.
Tapi walau pintar, saya sih tetap merasa ada yang kurang dari keluarga Ki-Taek. Ada pola pikir yang salah, sehingga si bapak selaku kepala keluarga malah bangga (bahkan akhirnya terlibat) ketika anak-anaknya mendapat pekerjaan dengan cara menipu. Keluarga Ki-Taek dengan segala kecerdasannya memilih menjadi parasit bagi keluarga Park. Keluarga Ki-Taek ini cerdas, tapi tidak berpendidikan. Saya merasa, mereka hidup untuk hari itu saja, tidak memikirkan resiko dan bagaimana masa depan anak-anaknya nanti.
Di sisi lain, karena begonya, keluarga Park ini nggak sadar kalau selama bertahun-tahun dirinya ketempelan parasit, yang nebeng hidup dan menghisap darah mereka pelan-pelan. Nggak cuma keluarga Ki-Taek yang menipu dan memanfaatkan kebegoan keluarga Park. Asisten rumah tangga sebelum keluarga Ki-Taek pun juga.
keluarga Ki-Taek, tinggal berdesakan di rumah kecil dan kumuh |
Tragedi hidup tanpa penjahat
Sebenarnya, kesenjangan yang ditampilkan dalam film ini adalah realita yang bisa kita temukan di kehidupan sehari-hari. Tapi rasanya memang dibutuhkan sebuah media seperti film, agar kita semakin menyadari realita yang ada.
Di film ini ditampilkan bagaimana secara natural, Mr. Park yang kaya, bersikap terhadap pekerja-pekerjanya. Nggak ada yang salah kok. Mr. Park ya bersikap selayaknya seseorang terhadap pembantu rumah tangga, sopir, dan guru les anaknya. Nggak kejam, nggak merendahkan, tapi juga nggak bisa dibilang ramah. Cuma karena film ini mengambil sudut pandang keluarga Ki-Taek, sikap Mr. Park jadi "terkesan" kejam.
Segala yang dilakukan Mr. Park di film ini, ya memang sudah sesuai porsinya sebagai seorang kepala keluarga yang harus melindungi keluarganya. Dia harus memecat sopir pribadinya, yang kedapatan berbuat mesum di mobilnya. Pada adegan ini, kita melihat dari sudut pandang keluarga Ki-Taek, jadi kita tahu kejadian yang sebenarnya bahwa si sopir nggak berbuat salah. Tapi Mr. Park kan tidak tahu, dan dia hanya berusaha melindungi diri dan keluarganya.
Lalu adegan-adegan terakhir, ketika terjadi pembunuhan di pesta ulang tahun anaknya, dan Jessica menjadi korban, lalu anak Mr. Park pingsan. Banyak yang menilai bahwa Mr. Park bersikap dingin mengabaikan Jessica yang sekarat, dan meminta Ki-Taek segera mengantarkan anaknya ke rumah sakit. Padahal Ki-Taek sedang bingung juga karena Jesica (yang adalah anak Ki-Taek) mau mati. Tapi ya sekali lagi, kita melihat dari sudut pandang keluarga Ki-Taek. Harap diingat bahwa Mr. park tidak tahu kalau Jesica ini adalah anak Ki-Taek, karena mereka kan menyamar. Dan Mr. Park tentu saja lebih mengutamakan keselamatan anaknya sendiri dong, daripada orang lain.
Intinya sih, di film ini saya merasa, penonton diminta untuk melihat keseluruhan adegan dari satu sudut pandang. Kalau terbawa perasaan dan tidak teliti, penonton pasti akan merasa bahwa Mr. Park adalah seorang yang jahat. Padahal sesungguhnya, nggak ada yang jahat di film ini. Yang ada hanya orang-orang yang terhimpit keadaan.
Tapi ya ini cuma pendapat saya. Mungkin kamu punya pendapat lain?
Film yang bikin perasaan nggak enak
Saya harus jujur, sepanjang menonton fillm ini perasaan saya nggak enak. Tahu kan, perasaan nggak pengen nerusin nonton filmnya, tapi penasaran, tapi nggak nyaman, tapi penasaran, tapi nggak nyaman... Tapi ya akhirnya tetap saya tonton lah wong udah beli toket 35k.
Semua sifat, ucapan, tindak-tanduk, dan segala keputusan yang harus diambil masing-masing tokoh di film ini benar-benar bikin perasaan nggak enak. Dan ini terjadi di sepanjang film. Semua tokoh bertindak hampir melewati batas, tapi nggak jadi. Begitu terus sepanjang film. Bikin kesel dan deg-degan yang nggak enak deh pokoknya.
Bahkan adegan simpel, pas Ki-Taek nyopirin Mr. Park, dan mereka ngobrol. Padahal Ki-Taek lagi nyopir, tapi tiap jawab pertanyaan Mr. Park, dia noleh ke belakang. Begitu terus sepanjang percakapan, sampai akhirnya mobilnya hampir nabrak, dan Mr. Park jadi harus nyantlap Ki-Taek: "PERHATIKAN JALAN!" Sepanjang percakapan itu pun saya udah mbatin, "Ngapain sih pak u negok-negok ke belakang mulu lagi nyetir juga, ngomong sambil liat depan kan bisa. Bos u juga pasti ngerti lah wong u lagi nyetir!"
Itu cuma contoh kecil. Dan sepanjang film, dengan berbagai macam adegan, saya harus melawan perasaan nggak nyaman semacam itu.
Rekomended?
Mmm...ini film yang sangat bagus. Tapi jujur, saya rasanya nggak akan menonton film semacam ini lagi deh di bioskop. Menurut saya ini film yang ketika nonton, saya butuh privacy. Saya mau ketika saya nonton dan perasaan saya sudah sangat nggak nyaman, saya bisa berhenti sejenak dan melanjutkan lagi kalau saya sudah siap. Kalau di bioskop kan 2,5 jam saya harus madep layar. T.T.