Hari ini saya mau membagikan keajaiban yang pernah terjadi seumur hidup saya yang baru 25 tahun ini. Jadi ceritanya beberapa bulan yang lalu, muka saya jerawatan ra uwis-uwis. Kalo mau dikira-kira, durasinya bisa sampai 2 bulan, sembuh terus muncul lagi, nanti sebentar sembuh terus munculnya juga di area yang nggak jauh-jauh dari sebelumnya. Karena kemana-mana membawa muka yang penuh jerawat, teman-teman saya mulai prihatin dan mereka mulai membanjiri kepala saya dengan tips-tips. Semua omongan mereka tentang cara mengatasi jerawat kemudian saya lakukan tanpa banyak fafifu.
Review Acne Lotion Rhein, dari Klinik NMW Skin Care Yogyakarta
Hari ini saya mau membagikan keajaiban yang pernah terjadi seumur hidup saya yang baru 25 tahun ini. Jadi ceritanya beberapa bulan yang lalu, muka saya jerawatan ra uwis-uwis. Kalo mau dikira-kira, durasinya bisa sampai 2 bulan, sembuh terus muncul lagi, nanti sebentar sembuh terus munculnya juga di area yang nggak jauh-jauh dari sebelumnya. Karena kemana-mana membawa muka yang penuh jerawat, teman-teman saya mulai prihatin dan mereka mulai membanjiri kepala saya dengan tips-tips. Semua omongan mereka tentang cara mengatasi jerawat kemudian saya lakukan tanpa banyak fafifu.
Bedak Padat Make Over Perfect Cover Lama Vs Make Over Powerstay Baru, Di Kulit Kering
sekararum
Tuesday, November 19, 2019
12 comments
Bedak Make Over Perfect Cover Two Way Cake itu udah lamaaa banget selalu nangkring di Racun Warna Warni favorit makeup setiap tahunnya, dan nggak turun-turun tahta karena belum ada pengganti. Bedak ini tuh udah ho'oh banget wis pokoknya. Bedak dengan formula yang semua orang pasti suka. Warnanya yang 08 Honey pas banget di kulit saya, teksturnya creamy tapi nggak ndemblok, coverage lumayan untuk ukuran bedak, harga masuk akal, gampang dibeli dimana-mana, kemasan kokoh, nggak oxidise, nggak mempertegas dry patch area, tahan lama, dan cakey-cakey dikit lah kalau udah lama dipakai tapi ya nggak papa kesempurnaan hanya milik mas Nicsap.
Nah, baru-baru ini kan Make Over ngeluarin bedak padat yang baru tuh, yaitu Make Over Powerstay Matte Powder Foundation. Saya jadi tergoda. Saya tau sih, kulit saya itu kering. Jadi 80% pasti nggak bakalan cocok karena Make Over baru ini klaimnya matte. Tapi ya gandeng saya koplo, saya tetep nyobain. Dan yaudah kita perbandingkan saja ya dengan yang lama.
Bagaimana kira-kira performa kedua bedak ini di kulit kering saya?
Kemasan
Mohon maaf untuk kemasan, punya saya yang lama cuma reffil. Kenapa? Ya karena saya koplo wkwk. Niat hati pengen ngirit, trus pengen kemasan lebih kecil kan biar lebih enak dibawa-bawa (saya nggak pernah pakai kaca bawaan bedak Make Over yang cuma segede rasa cintanya untukmu itu). Tapi ternyata ada alesannya kenapa kemasan ini diperuntukkan untuk reffil aja. Karena ringkih, beb. Bedak saya baru beberapa hari dibawa di tas udah pecah dan rombeng begitu. Alhasil saya nggak berani bawa-bawa lagi. Takut marai reged pouch.
Tapi saya akan lampirkan foto kemasan bedak yang lama dari internet:
Kemasan bedak Make Over lama |
Ukutan kemasannya sama. Bentukannya sama. Bahkan puff-nya menurut saya sama persis, yang mana kualitasnya bagus. Mohon maaf puff tidak saya foto karena punya saya bentukannya udah bosok.
Cuma secara desain, saya lebih suka Make Over Powerstay karena permukaannya dove dan lebih terlihat "mahal" begitu lho! Ala-ala bedak MAC getooo. Tau kan? Nggak tau ya udah saya males jelasin wkwk. Kalau yang lama itu kempling dan maap-maap agak-agak ada kesan murah. Ya walau memang murah. Tapi kan nggak mau kalau kelihatan murah.
Terus kapan hari ada yang tanya di instagram @racunwarnawarni, apakah reffil bedak Make Over lama bisa diisikan ke yang baru? Melihat sekilas ukurannya sih bisa ya. Tapi kurang tahu juga, tidak saya coba. Sebagai seorang...ehm...blogger, saya nggak mau pakai barang yang isi dan wadahnya beda. Takut menyesatkan kolower kalau pas sutorial begitu lho. Masa tiap sutorial harus ngasih keterangan: "ini bedaknya isinya beda ya kemasannya doang yang anu." Kan capek. Iya kalau dibaca. Wong bikin sutorial udah nulis produk-produknya apa di caption aja masih tetep ada yang komen, "Kaakkk lipstiknya apa, kakkkk!!"
Princess tu bisa lelah juga kadang-kadang menghadapi generasi malas baca :(.
Princess tu bisa lelah juga kadang-kadang menghadapi generasi malas baca :(.
Tekstur
Pas dicolek pakai jari, teksturnya sama-sama lembut dan creamy. Cuma dengan tekanan yang sama, Make Over Perfect Cover Lama lebih banyak keambilnya. Sebenernya ini bisa langsung disimpulkan sih:
- Versi lama akan lebih bagus coverage-nya
- Versi lama akan lebih gampang cakey
Tapi jangan nge-judge sebelum dicoba di muka ya. Ini baru asumsi awal. Tetap lanjutkan baca!
Kalau dicolek pakai kuas, produk yang keambil terlihat sama banyaknya. Powder yang berterbangan alias bledukennya juga sama aja antara yang lama dengan yang baru.
Shade
Untuk bedak versi lama saya pakai shade 08 Honey dan itu pas beud di kulit saya yang light medium agak koneng dikit ini. Bener-bener pas sampek saya males gonta-ganti bedak lagi karena susah cari warna yang se-pas ini. Nah, di bedak baru ini, saya dipilihin W33 Honey Beige sama mbak-mbak Make Over-nya, merujuk dari shade bedak lama saya.
Kalau dilihat di pan, bedak lama saya kelihatan lebih gelap. Tapi setelah di-swatch ternyata bedak baru lebih gelap. Pas dipakai juga gitu, di kulit wajah kelihatan lebih gelap dari yang lama. Masih masuk sih di kulit saya nggak yang jomplang. Tapi bedak yang lama warnanya terlihat lebih bright dan hidup gitu lho, sementara yang baru ini warnanya off, agak kusem.
Formula
Untuk coverage-nya, sudah bisa ditebak yang lama lebih bagus sedikit. Nggak terlalu kelihatan kok, cuma kalau disandingkan, akan kelihatan bedak yang lama lebih nutupin dark circle saya. Terus yang lama juga lebih ada efek bluring pori-pori.
Nah, yang ini mind blowing sih. Walau bedak yang lama lebih creamy dan yang baru lebih keras dan klaimnya matte, tapi di kulit saya, bedak yang lama lebih stay di kulit dan lebih nahan minyak. Kulit saya jenisnya kering, tapi kan ya keluar minyak juga dikit lama-lama ya, mas Bambang. Karena saya mahluk hidup dan usia saya belum terlalu uzur. Jadi setelah dipakai seharian, si bedak yang baru lebih cakey dan muka saya juga lebih minyakan.
Oh iya, di kulit saya dia agak oxidise. Jadi lama-lama kulit saya kelihatan makin gelap dan kusem dan minyakan, dikit sih. Nggak tau deh.
Bare face |
Kiri: bedak Make Over lama || Kanan: bedak Make Over baru |
Saya icik-iciknya pengen ngasih perbedaan dalam sebuah foto, saya pakai setengah-setengah wajah begitu lho! Lha kok ternyata nggak kelihatan bedanya di kamera. Padahal kamera saya mahal. Kzl deh.
Kesimpulan
Dengan segala perbandingan yang saya tuliskan di atas, tentu saya lebih memilih Makeover Perfect Cover Two Way Cake dibanding Makeover Powerstay Powder Foundation. Saya lebih suka yang lama dibanding yang baru. Kalau ada dukun pasti saya dibilang susah move on.
Tapi TOLONG DIGARIS BAWAHI DENGAN KENCENG, ini adalah percobaan di kulit saya yang kering. Untuk jenis kulit lain mungkin hasilnya akan beda lagi. Mungkin saya nggak cocok sama Powerstay karena memang itu bukan didesain untuk jenis kulit saya. Dan Powerstay ini juga nggak yang huelik se-huelik raine mantanmu begitu yaaa. Cuma kalau dibanding yang Perfect Cover saya lebih suka Perfect Cover. Saya tetep habiskan kok yang sudah saya beli, cuma nggak repurchase kelak. Dah sih. Gitu aja.
Harganya
Makeover Perfect Cover Two Way Cake : Rp 157 000/ 12 gr
Makeover Powerstay Powder Foundation : Rp 188 000/ 12 gr
Review Pond's Cleansing Balm
sekararum
Monday, November 11, 2019
5 comments
Saya itu orangnya paling susah diajakin up to date. Soalnya saya perlu waktu lama sebelum bisa menyimpulkan saya suka atau enggak sama suatu produk. Jadi produk baru udah terbit review-nya dimana-mana, saya masih berusaha menelaah perasaan saya. Sedih lah.
Saya juga baru berhasil menyimpulkan sesuatu pas saya udah ngabisin segendul Pond's Cleansing Balm ini. Itupun saya selingin saya The Body Shop Camomile Cleansing Butter ya, karena saya pengen bandingin dia juga sama produk sejenis.
FYI dulu nih, saya agak-agak nyesel njanjeni review produk ini ke kolower instagram saya (@racunwarnawarni), soale menurut saya dia nggak segitunya spesial. Tapi ya sudah janji sudah terlanjur terucap. Sayatu takut dimarahin maka mari kita review.
Kandungan
Ngomongin skincare, maka wajib ngomongin ingredient dulu ya. Produk ini bebas dari paraben, alkohol, sulfat, dan silikon. Ada beberapa bahan yang bagus banget untuk melembapkan kulit seperti Shea Butter, Cocoa Seed Butter, Sweet Almond Oil, Castor Oil, Apricot Oil, Rose Water, dan juga Tocopherol atau Vitamin E. Namun juga banyak bahan yang berpotensi menyebapkan komedo.
Tapi sejauh yang saya tahu ya, karena ini adalah cleanser, jadi nggak akan terlalu berefek seperti menyumbat pori. Karena toh dia bisa di-emulsify dan nggak lama-lama juga menempel di kulit wajah. Malahan beberapa bahan yang rich akan mengurangi efek kulit kering dan ketarik seperti yang biasa kita temui pada cleanser (( murahan )). Jadi bikin enak gitu lho. Bersihin muka tapi nggak bikin kulit kering. Untuk surfactant dia menggunakan PEG-20 Glyceryl Triisostearate, yang merupakan surfaktan yang efektif namun mild di kulit.
Cleansing balm memang digadang-gadang sebagai produk yang lebih dry skin friendly dibandingkan dengan cleansing oil. Dan cleansing balm juga konon katanya lebih efektif bersihin makeup dibandingkan cleansing milk dan cleasing oil. Untuk dry skin friendly saya setuju, soalnya ini rasanya di kulit lebih nyaman daripada Biore Cleansing Oil. Tapi kalau soal keefektifan hapus makeup, menurut saya sama kok.
Kecuali aromanya yang mayan kuat, saya nggak ada masalah dengan ingredient-nya. Eh sama aromanya saya juga nggak masalah sih. Cuma mungkin lebih oke bila tanpa aroma saja.
Cara Pakai
Produk ini dipakai sebagai first cleanser. Jadi pakai ini dulu sebelum pakai sabun muka. Pemakaiannya seperti pemakaian cleansing balm pada umumnya ya. Begini:
- Dulitkan produk secukupnya pada wajah yang akan dibersihkan
- Pijat-pijatkan produk agar merata keseluruh wajah dan makeup melt bersama produknya
- Percikkan sedikit air, lalu teruskan pijat-pijat produk merata ke seluruh wajah
- Bilas dengan air. Lalu lanjutkan dengan pemakaian second cleanser atau sabun muka.
Selengkapnya tentang step skincare, silahkan cek postingan saya mengenai Basic Skincare CTMP.
Kemasan
Saya nggak pernah suka skincare apapun dalam packaging jar karena saya kemproh. Jadi ya, to the poin aja sih saya nggak suka packaging-nya. Saya sendiri belum pernah nyobain cleansing balm dalam kemasan lain selain jar begini. Tapi saya berharap, suatu saat ada yang mau memroduksi cleansing balm dalam kemasan squeeze tube, misalnya.
Kemasannya tidak dilengkapi spatula, jadi kotor deh kena-kena sisa makeup. Karena buat sekali pemakaian kan memang harus berkali-kali culek untuk didulitkan ke pipi seblah sini dan jidat sebelah sono. Sementara sifat produk ini adalah melelehkan makeup. Sehati-hatinya kita dalam mendulit, pasti tetep ada makeup di wajah yang kadung melt dan keikutan di jari lalu kita masukin jari lagi dah ke jar. Ugh...adek jyjy, mz~
Tekstur
Teksturnya nggak konsisten. Punya saya ini, bagian atasnya keras seperti ada lapisan kerak tipis, tapi makin kebawah makin encer dan oily. Pas saya tanyakan ke @ca2ca2 dan @andiani91, ternyata punya mereka keras dari atas sampai bawah. Bahkan teh Reiny mengeluhkan soal kekerasannya ini. Ah si teteh mah, nggak suka yang keras-keras uwuwuwu~. Tapi karena punya saya (( KERAS DI AWAL DOANG )), jadi ya saya nggak banyak sambat.
Pas dioles ke kulit, dia langsung meleleh jadi minyak dan bikin makeup yang nempel ikutan leleh. Ada sedikit sensasi gritty atau berpasir, saat produk dioleskan ke kulit. Tapi nggak sakit dan nggak melukai babar blas. Cuma samar-samar sensasi gerenjel gitu loh.
Produk ini gampang di-emulsify. Jadi dipijat pakai air langsung leleh semua, dan pas dibilas langsung bersih, nggak meninggalkan sensasi licin, dan nggak bikin kulit kering. Biore masih lebih kering daripada ini.
Tes Performa
Bisa dilihat, produk ini mampu membersihkan makeup waterproof sekalipun dengan cukup efektif. Untuk beberapa produk yang bandel dan sifatnya nge-staint atau meresap pada kulit (emina cheeklit cream blush contohnya), tentu masih akan tersisa sedikit warna. Karena memang produknya itu nggak cuma stay di permukaan kulit menurut saya ya. Kalau pas full makeup banget begitu, memang perlu dua kali pemakaian agar lebih efektif.
Tapi swatch di tangan dan di muka tentu beda. Karena muka lebih banyak lekukannya dan juga pasti kita nggak berani menekan sekeras kalau pakai tangan.
Nah, ini saya membersihkan full makeup di muka dengan Pond's Cleansing Balm, setelahnya saya coba tes swipe dengan micellar water lagi. Hasilnya, di area mata, masih ada sisa eyeliner dan maskara, sedangkan di area bibir masih ada sisa matte lip cream. Ini wajar mengingat saya pakai eyeliner dengan style tightlining, dan juga bibir saya banyak sekali lipatan-lipatannya alias (( keriputan )). Tapi untuk complexion bersih sih sih!
Saran saya sih kalau untuk mata dan bibir, harus pakai eye and lip makeup remover terpisah. Apapun jenis cleanser-mu, kalau kamu tipe yang pakai eye makeup dan lipstik, ya harus sedia produk khusus untuk bersihin dua area sensitif dan reged tersebut.
Harga
Produk ini dibandrol dengan harga Rp.95.000/ 44 ml. Entah kenapa pada bilang murah, karena ini nggak murah ya. The Body Shop Camomile Cleansing Butter harganya Rp.199.000/ 90 ml. Sebenernya harganya setara aja kok.
Malahan Pond's lebih boros, karena punya saya ini kan oily ya makin ke bawah, jadi pakainya memang harus agak banyakan. Kalau The Body Shop ini teksturnya padet dan lebih irit gitu lho. Untuk Pond's, kalau kamu tipe makeup-an tiap hari, nggak nyampe tiga minggu paling udah abis produknya.
Tapi mungkin dibilang murah karena produk ini sering banget diskon di marketplace.
Kesimpulan
Produk ini bagus kok. Kandungannya, teksturnya, performanya yang efektif bersihin makeup tanpa bikin kulit kering, nggak ada yang bisa dikeluhkan. Paling yang saya keluhkan hanya harga (dilihat dari isi dan borosnya juga ya), karena ini Pond's saya berharap dia lebih terjangkau sebenernya.
Dan juga, kalau dibandingkan dengan The Body Shop yang harganya sepadan, tekstur dan aroma TBS ini lebih enak. Jadi kecuali dia diskon, saya mungkin nggak akan repurchase lagi.
Review Film Perempuan Tanah Jahanam (2019)
Maria Eua
Tuesday, October 29, 2019
8 comments
Hanya berselang 2 minggu setelah film terakhirnya, Joko Anwar kembali merilis film terbarunya berjudul Perempuan Tanah Jahanam.
Sebagai seorang sutradara, penulis skenario dan produser film, Joko Anwar telah berhasil memikat para penonton dengan film-film yang telah ia produksi. Hal ini menyebabkan, para penontonnya sangat percaya dengan karya-karya yang dibuat dan mengamini apapun yang dibuat Joko Anwar mampu meninggalkan kesan baik setelah lampu bioskop kembali menyala. Karena film ini masih sangat panas, saya tidak akan membagikan plot ceritanya dengan detil. Ulasan ini akan menjadi alat bantu penonton sebelum para kaum anti spoiler melangkahkan kaki ke dalam studio.
Sebagai penonton awam, saya tidak akan membahas tentang teori-teori konspirasi tentang film-film yang dibuat oleh Joko Anwar, maupun gimmick marketing yang dilakukan dalam rangka promosi film ini. Perempuan Tanah Jahanam memiliki napas yang sama dengan Pengabdi Setan, keduanya memadukan kebudayaan dan ilmu hitam menjadi tema utama. Sebagai orang yang tidak tahan dengan genre film thriller, pembukaan film ini cukup membuat saya stres. Di mana tokoh utamanya, Maya (Tara Basro), dikejar oleh pria tidak dikenal di tempat yang sepi, kemudian kakinya dibacok pedang.
Digadang-gadang sebagai film horor, film ini tidak menampakkan karakter hantu hingga di pertengahan cerita. Suasana horor justru dibangun dengan latar belakang tempat pasar yang sepi, bus remang-remang, dan juga desa yang terpencil. Selain itu, tokoh-tokoh yang berinteraksi dengan Maya dan Dini (Marissa Anita) dibuat semisterius mungkin sehingga penonton harus menebak-nebak jalan cerita yang sebenarnya terjadi.
Dalam penyusunan alur cerita, sebenarnya premis yang disuguhkan cukup rapi. Penokohan Maya sebagai masyarakat kelas pekerja dan berada dalam kondisi ekonomi minim membuat penonton bisa relate dengan kondisi kehidupannya. Kemudian, penulis menjadikan Maya sebagai masyarakat kelas proletar untuk memberikan alasan yang kuat kedua tokoh utama melakukan investigasi ke desa terpencil yang menjadi sumber masalah dan inti dari cerita ini, sehingga susunan ceritanya mudah dipahami.
Roda-roda karma berjalan sesuai dengan fungsinya dan sebagaimana mestinya. Kesengsaraan akibat akumulasi karma bisa ditemukan dengan mudah. Semua orang yang melakukan dosa, sekecil apapun, akan dibalas dengan adil. Dimulai dari masyarakat Desa Harjosari yang mendapatkan kutuk, supir andong yang mengantar Maya dan Dini, kedua orang tua Maya yaitu Ki Donowongso dan Nyai Shinta, kemudian Nyi Misni, Ki Saptadi, dan bahkan tiga hantu anak kecil yang menjadi kunci jawaban dari misteri yang terjadi.
Sebagai tokoh sentral, masing-masing dari Maya dan Dini mendapatkan karma sebagai tanggung jawab pribadi mereka terhadap kesalahan yang mereka lakukan. Kesengsaraan Maya selama hidupnya adalah buah dari ketidaktahuannya terhadap dosa orangtuanya. Maya menjalani hidup sendiri dan serba kekurangan sebagai pesakitan, dikarenakan dia hidup di atas kematian tiga anak kecil yang tidak wajar. Sedangkan hukuman yang diterima Dini terjadi karena motif ekonomi. Keserakahan mengantarnya langsung kepada kematian yang bukan miliknya.
Namun, upaya untuk menutup cerita ini terkesan sangat buru-buru, karena di tengah cerita penonton disuapi oleh fakta-fakta yang sebenarnya bisa diberikan dalam bentuk petunjuk-petunjuk kecil. Sehingga, ketegangan yang telah dibangun di awal cerita seketika runtuh dengan misteri yang terkuak dengan mudah.
Satu lagi, yang membuat saya agak terganggu adalah pemakaian Bahasa Jawa yang cukup asing bagi seorang Jogja pure blood. Banyak kalimat dialog yang cukup menggelitik telinga saya. Selain itu, masing-masing tokoh seperti menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang berbeda-beda. Bagaimana bisa masyarakat yang hidup di desa yang sama, namun logatnya beragam rupa.
Perlu diakui, teknik penggarapan film ini hampir tanpa cela. Aktor-aktor yang bermain di dalamnya, baik artis senior maupun pemeran pendukung, bisa dibilang, aktingnya sungguh sempurna untuk membangun kepercayaan penonton dalam menikmati jalan cerita. Kemudian yang perlu disorot adalah penggunaan audio berfrekuensi rendah dalam adegan-adegan teror, yang berfungsi untuk menyugesti para penonton. Maka, ketika adegan tersebut terjadi, penonton dibuat untuk merasa gelisah dan ketakutan.
Jika kalian ingin menonton film ini, ingatlah baik-baik, film ini bukan benar-benar film horor. Di dalamnya terdapat banyak adegan kekerasan,menampilkan luka berdarah-darah dengan plot yang sangat disturbing. Sesuai dengan tagline yang diberikan, jangan coba-coba nonton sendiri!
Category:
Buku & Film
Subscribe to:
Posts (Atom)