Hanya berselang 2 minggu setelah film terakhirnya, Joko Anwar kembali merilis film terbarunya berjudul Perempuan Tanah Jahanam.
Sebagai seorang sutradara, penulis skenario dan produser film, Joko Anwar telah berhasil memikat para penonton dengan film-film yang telah ia produksi. Hal ini menyebabkan, para penontonnya sangat percaya dengan karya-karya yang dibuat dan mengamini apapun yang dibuat Joko Anwar mampu meninggalkan kesan baik setelah lampu bioskop kembali menyala. Karena film ini masih sangat panas, saya tidak akan membagikan plot ceritanya dengan detil. Ulasan ini akan menjadi alat bantu penonton sebelum para kaum anti spoiler melangkahkan kaki ke dalam studio.
Sebagai penonton awam, saya tidak akan membahas tentang teori-teori konspirasi tentang film-film yang dibuat oleh Joko Anwar, maupun gimmick marketing yang dilakukan dalam rangka promosi film ini. Perempuan Tanah Jahanam memiliki napas yang sama dengan Pengabdi Setan, keduanya memadukan kebudayaan dan ilmu hitam menjadi tema utama. Sebagai orang yang tidak tahan dengan genre film thriller, pembukaan film ini cukup membuat saya stres. Di mana tokoh utamanya, Maya (Tara Basro), dikejar oleh pria tidak dikenal di tempat yang sepi, kemudian kakinya dibacok pedang.
Digadang-gadang sebagai film horor, film ini tidak menampakkan karakter hantu hingga di pertengahan cerita. Suasana horor justru dibangun dengan latar belakang tempat pasar yang sepi, bus remang-remang, dan juga desa yang terpencil. Selain itu, tokoh-tokoh yang berinteraksi dengan Maya dan Dini (Marissa Anita) dibuat semisterius mungkin sehingga penonton harus menebak-nebak jalan cerita yang sebenarnya terjadi.
Dalam penyusunan alur cerita, sebenarnya premis yang disuguhkan cukup rapi. Penokohan Maya sebagai masyarakat kelas pekerja dan berada dalam kondisi ekonomi minim membuat penonton bisa relate dengan kondisi kehidupannya. Kemudian, penulis menjadikan Maya sebagai masyarakat kelas proletar untuk memberikan alasan yang kuat kedua tokoh utama melakukan investigasi ke desa terpencil yang menjadi sumber masalah dan inti dari cerita ini, sehingga susunan ceritanya mudah dipahami.
Roda-roda karma berjalan sesuai dengan fungsinya dan sebagaimana mestinya. Kesengsaraan akibat akumulasi karma bisa ditemukan dengan mudah. Semua orang yang melakukan dosa, sekecil apapun, akan dibalas dengan adil. Dimulai dari masyarakat Desa Harjosari yang mendapatkan kutuk, supir andong yang mengantar Maya dan Dini, kedua orang tua Maya yaitu Ki Donowongso dan Nyai Shinta, kemudian Nyi Misni, Ki Saptadi, dan bahkan tiga hantu anak kecil yang menjadi kunci jawaban dari misteri yang terjadi.
Sebagai tokoh sentral, masing-masing dari Maya dan Dini mendapatkan karma sebagai tanggung jawab pribadi mereka terhadap kesalahan yang mereka lakukan. Kesengsaraan Maya selama hidupnya adalah buah dari ketidaktahuannya terhadap dosa orangtuanya. Maya menjalani hidup sendiri dan serba kekurangan sebagai pesakitan, dikarenakan dia hidup di atas kematian tiga anak kecil yang tidak wajar. Sedangkan hukuman yang diterima Dini terjadi karena motif ekonomi. Keserakahan mengantarnya langsung kepada kematian yang bukan miliknya.
Namun, upaya untuk menutup cerita ini terkesan sangat buru-buru, karena di tengah cerita penonton disuapi oleh fakta-fakta yang sebenarnya bisa diberikan dalam bentuk petunjuk-petunjuk kecil. Sehingga, ketegangan yang telah dibangun di awal cerita seketika runtuh dengan misteri yang terkuak dengan mudah.
Satu lagi, yang membuat saya agak terganggu adalah pemakaian Bahasa Jawa yang cukup asing bagi seorang Jogja pure blood. Banyak kalimat dialog yang cukup menggelitik telinga saya. Selain itu, masing-masing tokoh seperti menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang berbeda-beda. Bagaimana bisa masyarakat yang hidup di desa yang sama, namun logatnya beragam rupa.
Perlu diakui, teknik penggarapan film ini hampir tanpa cela. Aktor-aktor yang bermain di dalamnya, baik artis senior maupun pemeran pendukung, bisa dibilang, aktingnya sungguh sempurna untuk membangun kepercayaan penonton dalam menikmati jalan cerita. Kemudian yang perlu disorot adalah penggunaan audio berfrekuensi rendah dalam adegan-adegan teror, yang berfungsi untuk menyugesti para penonton. Maka, ketika adegan tersebut terjadi, penonton dibuat untuk merasa gelisah dan ketakutan.
Jika kalian ingin menonton film ini, ingatlah baik-baik, film ini bukan benar-benar film horor. Di dalamnya terdapat banyak adegan kekerasan,menampilkan luka berdarah-darah dengan plot yang sangat disturbing. Sesuai dengan tagline yang diberikan, jangan coba-coba nonton sendiri!
Aku nonton film ini malah jd takut sama wayang kulit mba. Haha.
ReplyDeleteAtmosfernya memang luar biasa, tp ya bahasa jawanya ganggu bingits.
setelah dipikir-pikir, iya juga ya. wayang kulitnya jadi lebih mistis dari yang seharusnya...
Deletesepertinya menarik film nya, tapi kok mau nonton takut.
ReplyDeletesepertinya film ini akan cukup lama beredar di bioskop. ayo dipikirkan mulai dari s e k a r a n g~
DeletePenasaran, tapi takut 😁
ReplyDeleteTakut dosa?
DeleteYang bagian logat setuju banget sih, setahuku dengan keterbatasanku mandiraja ada di daerah Banjarnegara jadi kupikir akan berlogat ngapak ternyata orang - orangnya pakai logat Jogja dan sekitarnya.
ReplyDeleteAh.. Aku menikmati moment overthinking dan move on ku dengan mengingat ingat film film yang ku tonton sama doi.i think, im lucky. Ternyata aku ga sepenakut itu sama film horor dan mengenang memory lama sama dia. Film ini salah satu film yang membuatku mulai rajin nonton film indonesia. Meskipun suka agak mbleset kek ending film ini. Tapi indonesia harus makin yakin kalo film mereka mulai naik kwalitasnya. Tak melipir ke film film lain yang ku tonton sama doi ya mbaaa ��
ReplyDelete